Speak Good or Remain Silent
Kata dapat menjadi air yang menggerus batu yang keras menjadi lunak.
Dan kata dapat pula menjadi pisau tak kasat mata, yang menggores luka pada hati.
Aku menatap layar kunci smartphone, “Speak Good or Remain Silent”. Setelah kubuka kunci layar dan
mengecek pesan pada aplikasi chating, layar itu berkata kembali meski samar-samar karena kini
tertutup pesan-pesan yang masuk. Aku ingat, mengapa aku mulai mengganti wallpaper-nya. Agar saat terjebak dalam
percakapan atau informasi yang cenderung membawa mudharat pada hati, kita harus sadar untuk segera mem-filter-nya, untuk kemudian tidak
tenggelam dalam situasi dan tidak telanjur melepas kata yang tidak semestinya.
Banyak perubahan bermula dari
kata. Baik dari kata yang kita dengar melalui pembicaraan, atau kata yang kita
cerna melalui tulisan. Perubahan bermula dari kata yang mengguncang hati, entah
tujuannya untuk mengeraskan atau melembutkan hati. Sebegitu besar kekuatan yang
kata miliki. Mungkin itulah salah satu alasan-Nya, dibalik perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita untuk
kerap membaca kalam-Nya. Dan itulah mengapa, para sahabat mengabadikan
perkataan Rasul dalam hadist-hadistnya. Agar kata yang kita terima adalah
kata-kata membawa pengaruh baik bagi hati, kata-kata yang menuntun pada siratal mustaqim, jalan yang lurus.
Bisa jadi seseorang pada mulanya
adalah seseorang yang baik namun dapat menjadi rusak karena mendengar perkataan
atau membaca tulisan yang merusak hati
dan pikiran. Sebaliknya, ada pula orang yang sebelumnya dikenal sebagai orang
baik-baik namun berubah berkelakuan buruk dikarenakan terperangkap dalam
kebiasaan mendengar dan mencerna perkataan yang buruk atau membawa
kemudharatan. Adapula, perkataan yang dikemas baik, namun berlogika terbalik
yang kata-katanya menakjubkan namun sejatinya memalingkan diri dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Korzybsky, ahli
general semantics menjelaskan adanya hubungan antara kekacauan penggunaan Bahasa
dengan penyakit jiwa. Implikasinya, pentingnya menggunakan Bahasa yang baik dan
tertib dalam pemakaian istilah jika ingin menyehatkan masyarakat. Maka berlaku
pun sebaliknya, masyarakat akan sakit jika terus menerus disuguhi perkataan
yang merusak.
Pentingnya menertibkan istilah
adalah kunci dalam menyehatkan masyarakat. Penertiban ini tak sekedar
penertiban teknis, namun lebih kepada pemaknaannya. Seperti pemaknaan istilah auliya yang hits saat ini, pendapat jumhur
ulama telah menafsirkan istilah auliya
yang bermakna pemimpin (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/132). Mengaburkan pendapat para
ulama yang notabene telah ahli dalam tafsir kitab suci Al-qur’an akan menggangu
ketertiban penggunaan istilah. Lebih lanjut akan menggoyahkan iman, merapuhkan
kepercayaan yang kokoh atas ulama maupun agama itu sendiri. Padahal, bukankah
Al-qur’an merupakan mukjizat terbesar? Kalam-Nya merupakan pedoman dasar dalam
menjalani kehidupan, Rasulullah adalah menyampai risalah-Nya dan ulama adalah
pewarisnya.
Maka apalah kita yang awam ini?
Mari senantiasa jadikan diri sebagai pembelajar dalam berkata yang baik atau
diam.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
mengatakan yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
0 komentar: