(Anak) Jakarta: Dulu, Kini, dan Nanti
Beberapa belas tahun yang lalu,
aku masih ingat betul bagaimana serunya bermain dengan anak-anak lain di
pelataran antara rumah-rumah kami. Biasanya waktu bermain kami dimulai setelah ashar hingga sesaat sebelum maghrib tiba. Ibu-ibu kami pun ada
disana, bersenda gurau dengan para tetangga sambil sesekali melirik ke arah kami
jikalau sekiranya kami mulai mulai melakukan hal yang berbahaya, seperti
berlari terlalu cepat, mendorong terlalu keras, dsb. Padahal kami sendiri tidak
khawatir soal itu, apalagi soal penjahat anak yang kini santer terdengar di
media.
Hari dan tahun kian bergulir, aku
dan teman-teman sepantaranku mulai lebih banyak sibuk dalam kegiatan pendidikan
kami masing-masing. Diantara kami ada yang sibuk dengan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah
les bimbel, mengerjakan tugas
kelompok, atau sekedar nongkrong
dengan teman-teman sepulang sekolah. Tapi sesekali kami masih saling bertegur
sapa di instant messaging dan bertemu
di acara buka puasa bersama kala bulan Ramadhan tiba.
Kini beberapa diantara kami ada
yang sudah bekerja di kantor, melanjutkan kuliah, atau mengurus rumah tangga.
Ketika sore tiba kadang terdengar samar olehku riang suara anak-anak di pelataran
rumah. Batinku senang mendengar suara-suara generasi penerus kami, ya generasi
yang masih suka bermain dengan teman-temannya di pelataran rumahnya. Pernah
suatu saat ketika mereka sedang bermain, aku berjalan melewatinya, berharap
mendapat momen-momen nostalgia masa kecil dulu. Tapi sayang, ada yang sedikit
hilang. Aku tak lagi melihat tali karet yang dulu berhasil membuatku
lompat-lompat, atau perabotan masakan mini yang penuh dedaunan dan bunga, atau
kerikil bertumpuk yang ketika berhamburan anak-anak pun turut berhamburan. Ah
sudahlah, mungkin memang bukan lagi zamannya.
Beberapa minggu terakhir, selepas
kembalinya aku dari kuliah di luar kota, malam hari aku selalu mendengar berita
di televisi. Biasanya selepas isya' keluarga berkumpul di ruang
tengah, entah untuk menonton berita, berdiskusi, dsb. Tapi wajah-wajah kami
terlihat kaku akhir-akhir ini, tiap kali media memberitakan maraknya kejahatan
pada anak-anak di ibukota. Marak orangtua membuang bayinya, membunuh keji
anaknya, teman sekolah yang berkelahi lantas menewaskan temannya, sampai kasus
pelecehan seksual oleh kerabat atau tetangganya.
Tak berselang lama, pemerintah
ibukota, selaku pemimpin wilayah angkat bicara. Pemicu kejahatan terhadap anak
adalah kurangnya ruang terbuka yang terpusat untuk anak-anak bermain. Lebih
lanjut, pemimpin tertinggi ibukota ini berencana memperbanyak proyek
pembangunan taman kota yang dinamakan Ruang Publik Terpadu. Rencananya Ruang
Publik terpadu ini akan diprasaranai dengan fasilitas bermain anak serta CCTV
sebagai kamera pengawas. Selain itu, Ruang Publik terpadu ini tak hanya ramah
anak, tetapi juga masyarakat umum.
Aku memang tidak mengerti akan
seefektif apa jika taman ini ada karena dulu aku memang tak begitu
membutuhkannya untuk bermain dengan anak-anak tetangga. Tapi yang namanya
proyek pembangunan, sarat godaan akan buai-buai korupsi, semoga
peristiwa-peristiwa belakang ini tidak dijadikan alat memuluskan penggelapan
anggaran. Terlepas dari prasangka, taman
kota adalah proyek infrastuktur yang baik bagi sebuah kota. Hanya saja, apakah maraknya perilaku kejahatan pada
anak dan kekerasan yang terjadi diantara anak-anak dikarenakan oleh kurangnya Ruang
Publik Terpadu?
Aku khawatir, pemicu berbagai
kejahatan yang berhubungan pada anak lebih pada lingkungan pergaulannya. Coba
kita lebih menelisik dalam diri, mungkin ada perkataan-perkataan kasar yang
keluar dari orang-orang yang menjadi perhatiannya, entah itu teman sebaya,
orangtua atau guru, atau bahkan tokoh-tokoh pemimpin mereka. Media televisi
yang setiap hari mau tidak mau melaporkan bentrokan antar pelajar, bentrokan
antar warga, bahkan bentrokan dengan aparatur pemerintah yang notabene adalah
pengayom rakyatnya. Mungkin saja bukan? Sebab anak-anak suka meniru perilaku orang
disekitarnya, hingga ia bertindak terlampau jauh hingga menewaskan temannya.
Mungkin saja bukan? Sebab anak-anak masih harus memilah-milah mana yang benar
dan salah, mana yang aman dan yang bahaya, hingga ia tertipu dengan berbagai
modus kejahatan terhadapnya.
Alangkah baiknya jika pembangunan
infrastruktur guna memfasilitasi anak bermain juga diiringi perbaikan moral dan
akhlak warganya. Justru perbaikan moral dan akhlaklah yang menjadi fokus utama
program-program perbaikan yang dilakukan pemerintah. Karena yang dibutuhkan
rakyat lebih jauh dari sekedar kepala proyek, tapi seorang pemimpin yang mampu
mengayomi rakyatnya, memanusiakannya dengan berucap dan berperilaku layaknya
manusia yang bermartabat.
Tanpa itu semua, menciptakan keamanan
bagi anak-anak hanya semu belaka. Pesatnya teknologi dan informasi, tekanan
ekonomi serta lingkungan sosial tanpa perbaikan moral dan akhlak hanya akan
menghasilkan pribadi-pribadi dengan akhlak dan moral yang buruk. Ruang Publik Terpadu mungkin akan banyak
dihiasi oleh muda-mudi yang berjalan mesra, yang kini sudah dianggap biasa
bahkan untuk dipandang anak-anak disana. Tentu akan semakin berkurang anak-anak
yang bermain di pelataran rumah-rumah mereka dan berbincang dengan tetangga, atau mungkin masyarakat kota sudah semakin individualis terbaur ciri kota metropolitan.
Senja Jakarta, 14
Oktober 2015
Dalam kerisauan
maraknya tindak kejahatan terhadap anak
0 komentar: