(Anak) Jakarta: Dulu, Kini, dan Nanti

03.56 Rahasanica Nariswari P 0 Comments



Beberapa belas tahun yang lalu, aku masih ingat betul bagaimana serunya bermain dengan anak-anak lain di pelataran antara rumah-rumah kami. Biasanya waktu bermain kami dimulai setelah ashar hingga sesaat sebelum maghrib tiba. Ibu-ibu kami pun ada disana, bersenda gurau dengan para tetangga sambil sesekali melirik ke arah kami jikalau sekiranya kami mulai mulai melakukan hal yang berbahaya, seperti berlari terlalu cepat, mendorong terlalu keras, dsb. Padahal kami sendiri tidak khawatir soal itu, apalagi soal penjahat anak yang kini santer terdengar di media.

Hari dan tahun kian bergulir, aku dan teman-teman sepantaranku mulai lebih banyak sibuk dalam kegiatan pendidikan kami masing-masing. Diantara kami ada yang sibuk dengan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah les bimbel, mengerjakan tugas kelompok, atau sekedar nongkrong dengan teman-teman sepulang sekolah. Tapi sesekali kami masih saling bertegur sapa di instant messaging dan bertemu di acara buka puasa bersama kala bulan Ramadhan tiba.

Kini beberapa diantara kami ada yang sudah bekerja di kantor, melanjutkan kuliah, atau mengurus rumah tangga. Ketika sore tiba kadang terdengar samar olehku riang suara anak-anak di pelataran rumah. Batinku senang mendengar suara-suara generasi penerus kami, ya generasi yang masih suka bermain dengan teman-temannya di pelataran rumahnya. Pernah suatu saat ketika mereka sedang bermain, aku berjalan melewatinya, berharap mendapat momen-momen nostalgia masa kecil dulu. Tapi sayang, ada yang sedikit hilang. Aku tak lagi melihat tali karet yang dulu berhasil membuatku lompat-lompat, atau perabotan masakan mini yang penuh dedaunan dan bunga, atau kerikil bertumpuk yang ketika berhamburan anak-anak pun turut berhamburan. Ah sudahlah, mungkin memang bukan lagi zamannya.

Beberapa minggu terakhir, selepas kembalinya aku dari kuliah di luar kota, malam hari aku selalu mendengar berita di televisi. Biasanya selepas isya' keluarga berkumpul di ruang tengah, entah untuk menonton berita, berdiskusi, dsb. Tapi wajah-wajah kami terlihat kaku akhir-akhir ini, tiap kali media memberitakan maraknya kejahatan pada anak-anak di ibukota. Marak orangtua membuang bayinya, membunuh keji anaknya, teman sekolah yang berkelahi lantas menewaskan temannya, sampai kasus pelecehan seksual oleh kerabat atau tetangganya.

Tak berselang lama, pemerintah ibukota, selaku pemimpin wilayah angkat bicara. Pemicu kejahatan terhadap anak adalah kurangnya ruang terbuka yang terpusat untuk anak-anak bermain. Lebih lanjut, pemimpin tertinggi ibukota ini berencana memperbanyak proyek pembangunan taman kota yang dinamakan Ruang Publik Terpadu. Rencananya Ruang Publik terpadu ini akan diprasaranai dengan fasilitas bermain anak serta CCTV sebagai kamera pengawas. Selain itu, Ruang Publik terpadu ini tak hanya ramah anak, tetapi juga masyarakat umum.

Aku memang tidak mengerti akan seefektif apa jika taman ini ada karena dulu aku memang tak begitu membutuhkannya untuk bermain dengan anak-anak tetangga. Tapi yang namanya proyek pembangunan, sarat godaan akan buai-buai korupsi, semoga peristiwa-peristiwa belakang ini tidak dijadikan alat memuluskan penggelapan anggaran. Terlepas dari prasangka, taman kota adalah proyek infrastuktur yang baik bagi sebuah kota. Hanya saja, apakah maraknya perilaku kejahatan pada anak dan kekerasan yang terjadi diantara anak-anak dikarenakan oleh kurangnya Ruang Publik Terpadu?

Aku khawatir, pemicu berbagai kejahatan yang berhubungan pada anak lebih pada lingkungan pergaulannya. Coba kita lebih menelisik dalam diri, mungkin ada perkataan-perkataan kasar yang keluar dari orang-orang yang menjadi perhatiannya, entah itu teman sebaya, orangtua atau guru, atau bahkan tokoh-tokoh pemimpin mereka. Media televisi yang setiap hari mau tidak mau melaporkan bentrokan antar pelajar, bentrokan antar warga, bahkan bentrokan dengan aparatur pemerintah yang notabene adalah pengayom rakyatnya. Mungkin saja bukan? Sebab anak-anak suka meniru perilaku orang disekitarnya, hingga ia bertindak terlampau jauh hingga menewaskan temannya. Mungkin saja bukan? Sebab anak-anak masih harus memilah-milah mana yang benar dan salah, mana yang aman dan yang bahaya, hingga ia tertipu dengan berbagai modus kejahatan terhadapnya.

Alangkah baiknya jika pembangunan infrastruktur guna memfasilitasi anak bermain juga diiringi perbaikan moral dan akhlak warganya. Justru perbaikan moral dan akhlaklah yang menjadi fokus utama program-program perbaikan yang dilakukan pemerintah. Karena yang dibutuhkan rakyat lebih jauh dari sekedar kepala proyek, tapi seorang pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya, memanusiakannya dengan berucap dan berperilaku layaknya manusia yang bermartabat.

Tanpa itu semua, menciptakan keamanan bagi anak-anak hanya semu belaka. Pesatnya teknologi dan informasi, tekanan ekonomi serta lingkungan sosial tanpa perbaikan moral dan akhlak hanya akan menghasilkan pribadi-pribadi dengan akhlak dan moral yang buruk.  Ruang Publik Terpadu mungkin akan banyak dihiasi oleh muda-mudi yang berjalan mesra, yang kini sudah dianggap biasa bahkan untuk dipandang anak-anak disana. Tentu akan semakin berkurang anak-anak yang bermain di pelataran rumah-rumah mereka dan berbincang dengan tetangga, atau mungkin masyarakat kota sudah semakin individualis terbaur ciri kota metropolitan.

Senja Jakarta, 14 Oktober 2015

Dalam kerisauan maraknya tindak kejahatan terhadap anak

You Might Also Like

0 komentar: